Bagaimana Dasar Hukum Asuransi Syariah? Penting untuk Dicemati!

tangkapan layar instagram@finanshaid

Pastinya Anda sering mendengar istilah asuransi syariah. Apa itu asuransi syariah dan bagaimana dasar hukum asuransi syariah di Indonesia? Apakah serupa dengan asuransi konvensional?

Asuransi syariah dan asuransi konvensional tentu memiliki perbedaan yang tegas, terutama dalam hal dasar hukum asuransi syariah. Namun mengenai asuransi syariah di Indonesia sesungguhnya sekarang masih menjadi pro dan kontra. Sebagian ulama menyatakan asuransi syariah diperbolehkan namun ada juga ulama yang menyatakan bahwa segala asuransi itu haram termasuk asuransi syariah.

Nah, tentu beberapa pendapat membuat kita menjadi bingung bagaimana aturan yang sesungguhnya menurut Islam? Untuk itu mari simak penjelasan mengenai pengertian dan dasar hukum asuransi syariah pada artikel ini agar tidak ada keraguan lagi mengenai halal atau haramnya asuransi syariah tersebut.

Definisi Asuransi Syariah

Sebelum membahas tentang dasar hukum asuransi syariah, sebaiknya kita harus mengetahui definisi asuransi konvensional dan asuransi syariah itu sendiri.

1. Asuransi Konvensional

Asuransi Konvensional adalah mekanisme perlindungan dari pihak perusahaan asuransi terhadap pihak tertanggung saat mengalami risiko di masa yang akan datang, dan dalam hal ini pihak tertanggung wajib membayar premi.

Tujuan dari asuransi ini adalah untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan risiko finansial saat nasabah atau tertanggung mengalami beban yang menyebabkan kerugian, dimana risiko akan dialihkan kepada perusahaan asuransi.

2. Asuransi Syariah

Asuransi syariah adalah bentuk asuransi yang diselenggarakan berdasarkan pada prinsip usaha untuk saling melindungi dan tolong-menolong diantara sejumlah pihak, melalui cara investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ dalam rangka menghadapi risiko tertentu, menggunakan akad yang sesuai syariah yakni tidak mengandung unsur masyir (perjudian), gharar (penipuan), dan riba.

Baca juga: 4 Cara Mencairkan Limit Home Credit Secara Online dan Offline Terbaru dan Cepat di 2023

Dari definisi tersebut di atas kita dapat melihat perbedaan kedua jenis asuransi secara jelas dan tegas. Perbedaan utamanya adalah asuransi syariah tidak bertujuan untuk bisnis semata seperti pada asuransi konvensional. Karena konsep pada asuransi syariah adalah usaha saling tolong-menolong (ta’awun atau sharing of risk) serta saling melindungi (takaful) untuk menghadapi risiko tertentu.

Kegiatan tolong-menolong dan saling melindungi dalam asuransi syariah itu dilaksanakan oleh para peserta (pemegang polis) asuransi syariah, dengan cara pengumpulan dana tabbaru’ (setoran asuransi) yang pengelolaannya dilakukan oleh pihak penyelenggara (perusahaan) berdasarkan pada prinsip syariah. Investasi dana pada asuransi syariah harus sesuai dengan prinsip-prinsip dan dasar hukum Islam yang merupakan dasar hukum asuransi syariah.

Sejarah Asuransi Syariah

Tentang dasar hukum asuransi syariah, kita melihat sejarah tentang asuransi syariah terlebih dahulu. Bahwa konsep asuransi syariah adalah berdasarkan pada sistem al-Aqilah, kebiasaan suku di Arab yang selanjutnya disahkan oleh Rasulullah SAW menjadi bagian dari hukum Islam.

Aqilah merupakan tradisi kesukuan di Arab yang berlaku pada kasus pembunuhan. Dalam tradisi tersebut, kerabat pelaku pembunuhan diwajibkan membayar diyat (denda atau uang darah) sebagai kompensasi (ganti rugi) bagi pewaris korban.

Tradisi kesiapan dalam membayar diyat merupakan hal yang mirip dengan pembayaran premi dalam asuransi. Dan kesediaan dalam membayar diyat adalah mirip dengan praktik pembayaran klaim penggantian risiko kepada pemegang polis yang dilakukan oleh perusahaan asuransi.

Selanjutnya menurut sumber dari laman OJK, usaha asuransi syariah mulai dikenal di masyarakat pada akhir tahun 1970-an. Periode itu diawali oleh Faisal Islamic Bank of Sudan yang mendirikan usaha asuransi syariah untuk menyediakan layanan di Sudan dan Arab Saudi.

Keberhasilan Faisal Islamic Bank of Sudan selanjutnya dapat menginspirasi usaha asuransi syariah lain di beberapa negara, khususnya di Eropa dan Asia. Di wilayah Asia Tenggara, asuransi syariah diselenggarakan untuk pertama kali di Malaysia pada tahun 1985, yaitu Takaful Malaysia.

Kemudian pada 24 Februari 1994, di Indonesia berdiri perusahaan asuransi syariah untuk pertama kalinya, yakni PT Syarikat Takaful Indonesia atas dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri dan Departemen Keuangan Republik Indonesia.

Dan saat ini berdasarkan data dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), terdapat lebih dari 50 jasa asuransi syariah di Indonesia yang telah memperoleh rekomendasi syariah.

Dasar Hukum Asuransi Syariah di Indonesia

Dalam rangka penyelenggaraan perusahaan asuransi syariah di Indonesia terdapat beberapa dasar hukum asuransi syariah, yaitu:

1. Al-Qur’an dan Hadis

Pertama, dasar hukum asuransi syariah yang digunakan adalah dari Al-Qur’an dan Hadis.

1. QS Al-Maidah (5:2), yang artinya:

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan”

2. QS. An-Nisa’ (4:9), yang artinya:

“Dan hendaklah takut (kepada Allah SWT) orang-orang yang sekiranya meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) nya. Oleh sebab itu hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar”

Baca juga: Jangan Khawatir, Ini Dia Cara Hapus Data Pinjaman Online yang Tepat ​

3. HR Muslim dari Abu Hurairah ra, yang artinya:

“Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa yang menghilangkan kesulitan duniawi seorang mukmin, maka Allah SWT akan menghilangkan kesulitannya pada hari kiamat. Barangsiapa yang mempermudah kesulitan seseorang, maka Allah SWT akan mempermudah urusannya di dunia dan di akhirat” (HR. Muslim).

2. Pendapat Ulama Fuqaha

Dasar hukum asuransi syariah yang digunakan selanjutnya adalah pendapat ulama fuqaha. Dan ternyata terdapat beberapa perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih (fuqaha) mengenai dasar hukumnya.

Ada golongan fuqaha yang menyatakan bahwa asuransi hukumnya adalah mubah, dan sebagian lainnya menyatakan bahwa hukum asuransi adalah haram.

Perbedaan pendapat tersebut berdasarkan dari status hukum asuransi syariah. Dalam hal ini ada ulama yang berpendapat bahwa baik asuransi konvensional maupun asuransi syariah hukumnya adalah haram karena dikhawatirkan mengandung riba dan gharar. Namun dalam fikih Islam tidak ada pembahasan tentang asuransi, dan terdapat melarang praktik asuransi.

Maka sebagian besar ulama fikih pada era sekarang berpendapat bahwa asuransi yang bersifat komersial hukumnya adalah haram, sedangkan asuransi yang berdasarkan pada ta’awun atau tabarru’ yang dilandasi prinsip tolong-menolong dan pengelolaannya sesuai dengan syariah maka hukumnya mubah atau diperbolehkan.

3. Fatwa MUI

Selanjutnya dasar hukum asuransi syariah adalah fatwa dari MUI. MUI (Majelis Ulama Indonesia) sejak berdirinya beberapa perusahaan asuransi syariah di Indonesia sekitar tahun 1990-an segera menerbitkan Fatwa Nomor 21/DSN-MUI/X/2001. Fatwa MUI tersebut menyatakan kehalalan asuransi syariah.

Fatwa dari MUI Pusat menyatakan bahwa asuransi syariah secara sah diperbolehkan dalam Islam. Pada fatwa tersebut MUI menegaskan bahwa kehalalan asuransi syariah terlihat dari prinsip umum dalam penyelenggaraannya serta pada akad (transaksi) yang diterapkan.

4. UU Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian

Dasar hukum asuransi syariah berikutnya adalah UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian [PDF]. Undang-undang ini tidak hanya mengatur tentang usaha asuransi konvensional saja namun juga mengatur mengenai tata kelola asuransi syariah di Indonesia.

UU ini sudah memuat ketentuan secara terperinci mengenai penyelenggaraan asuransi syariah di tanah air.

Demikian mengenai dasar hukum asuransi syariah di Indonesia sehingga kita sebagai umat muslim tak pernah ragu lagi mengenai kehalalannya. Semoga artikel ini bermanfaat.

 

 

You might also like